Absurditas Logika di Media Sosial

"The need to be right is the sign of a vulgar mind."

(Kebutuhan untuk selalu benar adalah tanda dari pikiran yang dangkal.)

-Albert Camus



Albert Camus, kalau hidup di zaman sekarang, mungkin akan mengerutkan dahi sambil berkata, "Betapa konyolnya absurditas modern ini."

Dulu, absurditas yang ia bicarakan adalah konflik antara pencarian makna dengan dunia yang tak memberikannya apa-apa. Sekarang, absurditas hadir di kolom komentar. Di forum publik yang tampak demokratis, tapi sering kali hanya jadi arena ego, di mana semua orang ingin bicara, tapi sedikit yang mau berpikir. 

Bayangkan Camus sedang scroll media sosial. Ia menemukan konten yang membahas seberapa lama orang awam bisa bertahan di pertandingan sepak bola profesional. Lalu ada komentar:

"Main badminton lebih capek, tau."

ataupun, 

"Angkat beban lah. Pasti angkat 80 kg x 3 set udah ga kuat."

Pasti ia akan menyeringai kecil. Bukan karena lucu, tapi karena absurd. Komentar itu keluar dari kebutuhan untuk terlihat tahu, untuk ikut bersuara. Meski tak nyambung, meski tak perlu. Seolah ingin membuktikan bahwa dirinya telah mencoba segala macam olahraga dengan segala tingkatan.

Camus mungkin akan menulis ulang The Myth of Sisyphus, bukan tentang orang yang mendorong batu ke atas bukit, tapi tentang manusia yang terus-menerus mengetik komentar, berharap dunia akan mengakuinya benar.

Semua orang memang berhak untuk berpendapat. Tapi tidak semua orang berhak untuk selalu benar. Manusia bukanlah makhluk yang memiliki kebenaran absolut.

Dan di sinilah inti persoalannya: banyak dari kita tak lagi ingin mencari kebenaran, tapi hanya ingin menjadi yang paling benar. Padahal kebenaran butuh konteks, logika, bahkan empati. Bukan sekadar suara paling nyaring.

Maka tak heran kalau debat di dunia maya sering berakhir bukan pada kesimpulan, tapi pada keributan. Bukan pada argumen, tapi pada makian. Kita tak sedang berbeda pandangan, kita sedang gagal berpikir.

Camus, jika duduk bersama kita hari ini, mungkin hanya akan mengangkat bahu dan berkata:

"Apa yang lebih absurd dari manusia yang mencintai suaranya sendiri, tapi tak mendengar isi kepalanya?"

Dan di tengah malam, sambil scroll media sosial, Camus bergumam:

"Should I debate the people, or have a cup of coffee?"

(Haruskah aku mendebat orang-orang, atau membuat secangkir kopi?)

Ia pun memilih secangkir kafein dari pada secangkir absurditas.

---

Sedikit catatan:

Kutipan asli yang terakhir berbunyi:

"Should I kill myself, or have a cup of coffee?"

(Haruskah aku bunuh diri, atau membuat secangkir kopi?)

Kutipan yang secara populer dikaitkan dengan Albert Camus, meskipun tidak tercantum secara langsung dalam karya-karyanya. Kutipan ini mencerminkan semangat The Myth of Sisyphus, khususnya gagasan bahwa keputusan untuk hidup adalah bentuk perlawanan terhadap absurditas.


(MCP)


Referensi:

Camus, A. (1956). The Fall (J. O'Brien, Trans.). New York: Alfred A. Knopf.

Camus, A. (1942). The Myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans., 1991 ed.). Vintage International.

Comments